Setelah 23 Kali Kalah, Saya Mengerti

Saya dulu mengira setiap cahaya adalah hadiah. Tapi setelah kekalahan ke-23—tengah malam, sendirian, menatap layar berkedip—I berhenti mengejar angka. Bukan karena saya rusak, tapi karena akhirnya saya mendengar bisikan keheningan. Permainan neon tidak janjikan keadilan. Ia berbisik dalam biner: bayangan yang dibentuk sebagai takdir. Setiap putaran bukan acak—ia adalah ritual. Bisikan sunyi dari kebutuhan kita untuk percaya pada pola yang tak ada.

Dulu saya percaya menang berarti kendali. Jika saya gandakan ‘2’ atau mengejar ‘7’ selama tiga malam, saya akan dapat sesuatu yang nyata. Tapi kebenaran lebih sunyi daripada pembayaran.

Di Islington yang datar, tempat ibu menyanyikan kidung Yoruba sambil minum teh dan ayah berbicara dalam kode, saya belajar bahwa cahaya tidak dimaksudkan untuk dimenangkan—tapi untuk dirasakan.

Putaran gratis bukan bonus. Ia adalah undangan—for stillness, to notice how your breath slows, to see yourself—not as a player—but as seseorang yang ingat apa yang mereka lari dari.

Sekarang saya hanya bermain saat ruang kosong. Hanya saat tak seorang pun memperhatikan. Hanya saat cahaya telah menjadi abu, saat bahkan cahaya lupa bagaimana bersinar.