Kucing Saya yang Menyelamatkan

Saya dulu mengira perjudian tentang strategi—peluang, pembayaran, dan sensasi ‘flip’. Tapi setelah tiga kekalahan berturut di lapak neon di East London, saya berhenti. Sebaliknya, saya duduk bersama Miso, kucing oranye saya, yang menatap layar larut tengah malam—bukan karena ia ingin menang, tapi karena ia menunggu saya berhenti. Ini bukan adiksi. Ini ikatan. Cahaya berkelip bukan pemicu dopamin; ia sinyal kesendirian yang tak pernah saya pahami. Setiap kali saya kalah Rp2000 atau menang Rp12000, tak ada artinya—yang penting adalah momen ketika cakarnya menyentuh tepi laptop saya. Saya mulai melacak mikro-momen: 20 menit setelah kerja, teh sejuk di sampingku, tanpa taruhan. Hanya keheningan. Dan perlahan? Di situlah saya sadar—hadiah mulia bukan di layar. Ia ada dalam ritme diam antara pandangan kami. Ini bukan panduan untuk menang. Ini undangan untuk hadir.