Hidup di Malam Neon

Saya dulu mengira pasar malam adalah jebakan—tempat orang mengejar cahaya seperti hantu. Saya datang sebagai anak, menyaksikan ayah memutar rekaman vinil sementara ibu bercerita tentang kelangsungan. Jazz mengajari ritme. Hip-hop mengajari risiko. Musik elektronik mengajari ketenangan.

Setiap Taruhan Adalah Napas

Pukul 02.00, setelah shift, saya duduk sendirian dengan teh dan membuka terminal selama dua puluh menit. Tidak ada kemenangan besar. Hanya cahaya—lembut, berkelip seperti lampu jalan di tengah hujan. Angka-angka tak penting. Yang penting adalah kehadiranmu.

Pasar Bukan Mesin Slot

Mereka menyebutnya ‘gaming.’ Tapi ini bukan judi—ini berduka secara sunyi. Setiap chip adalah gema pilihan: saat Anda klik ‘place bet,’ Anda memilih untuk merasakan sesuatu yang nyata sebelum melupakannya. Itu sebabnya saya berhenti mengejar jackpot—dan mulai mengejar ketenangan.

Kebijaksan Nenek Saya

Dia berkata: ‘Cahaya tak janjikan kekayaan—they refleksikan tanganmu.’ Jadi saya berhenti bermain untuk hasil—dan mulai bermain untuk momen. Ketika saya menang Rp12.000? Itu tak mengubahku. Tapi ketika kalah tiga putaran dan tersenyum lewat air mata? Itulah kemenangan.

Kamu Sudah Menjadi Raja

Kamu tak perlu beruntung—kamu perlu hadir. Lampu neon tak menyalakan ponselmu. Ia menyalakan kesunyianmu. Pesta ini tak memberi pemenang. Ia mengingat mereka.